sungai barumun di Kotapinang |
Malam sudah
larut. Suasana Sungai Barumun Kotapinang Labuhanbatu Selatan telah sepi, berselimut
hening dan gelapnya malam. Riuh suara bocah yang bermain di tepian dan canda tawa ibu-bu dan remaja putri yang
sedang mencuci tak terdengar lagi. Hanya desiran angin yang bertiup menimbulkan suara gemercik air dan
sesekali suara jangkrik dan binatang malam lainnya berteriak dari balik semak
dan pepohonan di pinggir sungai.
Samar-samar, di kejauhan sebuah
titik cahaya berkelap-kelip di atas air. Persis kunang-kunang, terkadang muncul,
terkadang hilang ditelan kegelapan. Terkadang diam, terkadang bergerak. Sebuah
pemandangan yang masih misteri. Cahaya
itu terus berkelap-kelip semakin samar bergerak menjauh menyusuri arus sungai.
Ternyata ditengah suasana gelap dan
sepi itu, masih ada sebuah sisi kehidupan warga Kotapinang yang beraktifitas di
sungai tersebut. Seorang nelayan masih mengayuh
sampan berusaha mencari rezeki. Malam
yang kian larut tidak menghinggapinya dengan rasa kantuk. Tanpa
rasa lelah, ia terus berkayuh sembari sesekali menyalakan penerangan senter yang
terlihat seperti titik cahaya dari
kejauhan.
Malam itu, merupakan malam
peruntungan bagi sang nelayan. Upaya mencari nafkah yang jauh dari trend modern
menebar puluhan joran di sepanjang tepian sungai sambil berharap menuai rezeki
mendapatkan ikan.
Sisi
kehidupan nelayan tradisional di Kotapinang ternyata cukup menggetirkan. Hingga
kini, segelintir nelayan yang masih bertahan dengan pekerjaannya, dihadapkan
dengan kenyataan sungai barumun bukan seperti dulu lagi. Populasi ikannya sudah jauh berkurang. Berbagai cara menangkap ikan, baik
menggunakan pancing, jaring, jala, bubu
dan penilar tak memberi hasil yang memadai lagi bagi nelayan.
Sungai barumun yang mengalir di
ibukota Kabupaten Labuhanbatu Selatan, selama ini memang sangat berarti bagi
masyarakat. Terutama warga yang bermukim di tepiannya, banyak memanfaatkan
sungai tersebut untuk keperluan sehari-hari. Mulai mandi, mencuci dan ada yang
menggunakan sebagai air minum.
Disisi lain, sungai Barumun juga
sebagai lokasi mata pencaharian sebagian penduduk. Konon kabarnya, selain
berladang, banyak juga warga yang bermukim di Kotapinang menjadi nelayan. Pada masa itu, sungai barumun merupakan lubuk ikan dan udang
yang relatif banyak memberi rejeki bagi penduduk setempat.
Pengalaman masa silam tentang
banyaknya ikan di sungai Barumun, meski tinggal kenangan, namun masih sering
menjadi cerita nostalgia sejumlah nelayan. Tatkala mereka kedatangan tamu jauh dari luar
kota, tak akan repot menjamu tamunya dengan menu hidangan ikan yang besar dan
masih segar. Dengan bermodalkan sebuah
joran pancing, lalu memancing ke sungai barumun selama satu jam, dipastikan akan mendapat ikan seperti baung,
bince maupun udang gabak (udang galah) yang akan diolah menjadi masakan khas
seperti gulai asam ikan baung dan bince. Hmm! menu santapan yang sangat lezat buat tamu.
Kini kenangan mengasyikkan itu
tinggal cerita. Kehidupan nelayan telah jauh berubah. Bahkan banyak nelayan
yang beralih pekerjaan ke bidang lain yang lebih menjanjikan untuk memenuhi nafkah
keluarga. Seperti menjadi buruh kebun, buruh harian lepas, pekerja
bangunan hingga penarik beca.
Nelayan yang tersisa kini sering
mengeluh karena berkurangnya hasil tangkapan mereka. Ntah apa sebabnya, apakah
karena semakin majunya lingkungan di sekitar sungai Barumun dan semakin
banyaknya penduduk. Atau habitat ikan dan udang yang terganggu oleh berbagai aspek
kehidupan lain di sekitar sungai yang
menekan perkembangbiakan ikan, sebuah issue yang perlu dikaji oleh pihak yang
berkompeten.
Persoalan di atas membuat sejumlah
nelayan merasa getir untuk meneruskan dan menekuni usaha mencari ikan.
Akibatnya, sebagaian nelayan menjadikan usaha tersebut sebagai kerja tambahan.
Sedangkan nelayan yang masih bertahan, kini semakin jarang menggunakan jaring,
jala maupun bubu untuk mencari rezeki. Yang bertahan hanya kegiatan memancing
dengan cara menaut.
Menaut merupakan salah satu sisi kehidupan nelayan
di sungai Barumun. Dari tahun ke tahun, pekerjaan menaut masih digeluti
sejumlah nelayan secara turun temurun. Peralatan mereka menaut sangat jauh dari trend teknologi dan
malah sangat sederhana, berupa pancing dan perahu (sampan) tradisional.
Pekerjaan
menaut memang identik dengan memancing.
Namun caranya dengan jumlah joran yang banyak. Terkadang, setiap pergi menaut,
seorang nelayan membawa joran yang cukup banyak mencapai 50 buah joran yang dilengkapi
benang dan mata kail serta umpan.
Jorannya cukup sederhana berupa
ranting atau dahan kayu yang pipih dan kuat sepanjang kurang lebih 1,5 meter.
Lalu di ujung joran diikatkan seutas benang nilon (benang pancing) ukuran besar
(50-200 Lbs) serta diujung benang lainnya dililitkan sebuah mata pancing ukuran
besar juga.
Pada masa tertentu, tatkala sungai Barumun meluap hingga areal perkebunan penduduk, warga dan penduduk beberapa desa di sekitar Kotapinang
banyak menyempatkan menaut . Parit dan rawa di sekitar kebun penduduk akan
ramai menjadi tempat menaut. Begitu juga parit-parit buatan di areal perkebunan
milik beberapa perusahaan yang sering disebut “bekoan”(dibuat menggunakan
beko), sangat digandrungi untuk menaut. Umpannya biasanya cacing dan
anak katak. Hasil menaut di parit dan bekoan ini, biasanya memperoleh ikan seperti gabus, lele, momah, limbat, betik
atau puyu-puyu dan berbagai jenis ikan rawa lainnya.
Sedangkan menaut di sungai barumun
berbeda dengan menaut di parit maupun rawa. Peminatnya juga terbatas nelayan
saja , sebab menaut di sungai membutuhkan perahu atau sampan sebagai sarana
transfortasi menyebar joran pancing di sepanjang tepian sungai. Perbedaan lain
adalah, Kalau di ‘bekoan” lebih sering dilakukan pada siang hari, sementara di
sungai Barumun selain siang juga pada malam hari. Bahkan menurut mereka menaut
malam hari lebih banyak hasilnya.
Uniknya, kegiatan menaut di sungai
barumun selain menyiapkan joran, adalah
mencari umpan, berupa anak ikan sungai yang kecil. Untuk mendapatkan umpan
nelayan menggunakan tangguk atau penilar. Anak ikan tersebut harus dalam kondisi hidup yang
di tautkan pada mata pancing. Begitulah, setelah joran ditancapkan ditepi
sungai, umpan anak ikan tersebut akan berenang menari-nari didalam air sebagai
umpan bagi ikan pemangsa yang lebih
besar, terutama ikan baung, bince dan kebaro.
Dari sore menjelang malam nelayan
memasang joran tautnya di sepanjang tepian barumun. Setelah semua terpasang, sang nelayan beristirahat sebentar di atas
sampannya sambil makan malam. Setelah itu kembali berkayuh memantau setiap
joran yang di tancapkan tadi, menyusuri taut demi taut di tepi sungai itu.
Setiap ada taut yang berhasil mendapat ikan, sang nelayan menangguknya ke atas
sampan.
Begitu terus hingga tak terasa waktu berjalan menjelang pajar, sang nelayan akan pulang
membawa hasil tautan berbagai jenis ikan, terutama baung yang akan dijual ke
pasar ikan tradisonal. Namun, sebelum sampai ke pasar, terkadang sudah banyak calon pembeli yang menunggu
mereka di tangkahan.
Bayangan pahit getirnya pekerjaan
menaut memang sulit terlukiskan. Betapa tidak, dengan sarana sederhana serta
bekal seadanya, sang nelayan mesti bekerja mencari nafkah dengan berkayuh
sepanjang malam menyusuri sungai. Sementara istri dan anak-anaknya menanti
sembari berdoa agar suami dan ayah mereka berhasil mendapat hasil ikan yang
banyak.
sungai barumun |
sungai barumun |
sungai barumun |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar